Alhamdulillah lebaran 1444 H ini akhirnya kesampaian nonton film Biopik Buya Hamka. Sesuai dugaan, yang menonton adalah keluarga dengan 3 bahkan 4 generasi. Kakek nenek/buyut, bapak ibu, anaknya dan cucunya. Bahkan banyak yang tertatih digandeng oleh cucu-cucu.
Kemudian salut dengan muda mudi yang menyengaja memilih film ini dibanding film horor. Barangkali film biografi bisa saja dianggap membosankan, apalagi cerita berputar pada kehidupan sehari-hari, seolah alur berjalan lambat. Nah kali ini mungkin ada sedikit spoiler tapi sepotong-sepotong saja untuk bisa menghighlight kesan… hehe
Walaupun penonton sekalipun awam dengan karya Buya Hamka, film ini menjelaskan berbagai informasi umum juga, jadi mudah diikuti.
Akhirnya, saya mendapatkan behind the scene dari sebagian karya Buya yang sudah saya baca. Seperti terkoneksi, oh ternyata kondisi itu yang melatar belakangi pembuatan karya-karyanya seperti novel roman misalnya.
Saya ingat hujatan kafir dan tuduhan tidak islami menerpa Buya, hanya karena Buya menggunakan metode dakwah lewat bercerita seperti Tenggelamnya kapal Van der Wijck. Itu benar dan masuk ke dalam dialog film. Buya mencoba mengkritik kebiasaan masyarakat yang fanatik dengan suku hingga standard masyarakat yang tidak adil dalam memperlakukan perempuan.
Lalu ketika Buya menyusun tulisan berikutnya yang levelnya lebih sulit. Yaitu pada karya Tasawuf. Ternyata istri beliau yang mendorong Buya untuk memperdalam kembali ilmu fiqih dan mantiq kepada ayahnya.
Interaksi dengan istri dan keluarga
Kemudian, interaksi suami istri yang syahdu tapi memikat. Bagaimana cara Buya menjadikan istrinya penasehat istimewa. Bahkan Buya sangat seksama memperhatikan saran-saran istrinya yang memang bagus, tanpa perdebatan namun berdiskusi. Akhirnya hal itulah yang juga menjadi langkah Buya dalam menjalankan berbagai keputusan penting. Ini terasa sakinah banget.
Volume 1 lebih menjelaskan kedekatan beliau dengan keluarga terutama istrinya Umi Raham. Lebih intim, dinamika istri dan suami. Menjelaskan pola pikir Buya. Adem ya walau terasa kok kurang konflik ya (wkkk 😁 kebiasaan nonton film yang pasti kudu ada konflik).
Lucu bagaimana cara beliau menolak poligami. Mendadak kabur hahaha. Juga bagaimana cara beliau menghadapi fitnah karena memilih gaya komunikasi berbeda dengan Jepang. Istri dan anak-anak beliau, tak sedikitpun meragukan ayah mereka. Ini semua sedikit saya pernah membacanya pada buku biografi yang pernah ditulis oleh Irfan Hamka dengan judul Ayah.
Tidak menjual dakwah
Saya tersentuh saat ada munasarah (sumbangan) ketika setelah memberikan ceramah. Beliau tidak mau menerimanya cuma-cuma padahal sangat membutuhkan, akhirnya setelah dinasehati beliau mau menerima, dan menukarnya dengan buku-buku karyanya. Buya mengatakan tidak menjual dakwah. Melting saya mendengarnya. Kayak berkaca-kaca, selain part anak beliau yang meninggal juga.
Hal-hal yang kurang
Part yang bersama tentara Jepang itu memang kurang dalam. Sebentar saja munculnya, jadi konfliknya terlihat kurang greget. Penasaran juga bagaimana pengkondisian Buya saat itu, membangun kesepakatan hingga kaum muslim bisa tetap beribadah, tapi pengorbanan tersebut disalah pahami, sampai membuat Buya di tolak dan dijauhi. Kok bisa Gurbenur Jepangnya bersikap baik, sampai mereka akan hengkang dari Indonesia.
Tapi hal semacam ini seperti kekurangan yang juga dapat kita temui saat kita menonton film biografi lainnya.
Jika yang menonton merasa tidak relijius
Walau yang menonton bukan orang yang relijiuspun, tetap akan nyambung. Sudut pandang seperti pakai jas dianggap orang kafir, itu akan kita dapatkan pandangan Buya mengenai itu. Jangan kuatir film ini tidak memberikan dalil-dalil. Justru kita akan melihat pola pikir modern dan maju dari seorang Buya Hamka.
Komunikasi dakwah
dakwah yang paling sulit itu sebenarnya tidak langsung memberikan ayat. Tapi menerjemahkan dalam kalimat, perumpamaan, contoh dan sikap yang umum, dimasukkan kedalam pesan kalimat dengan halus, sampai orang bahkan tidak tahu bahwa kebaikan tersebut ternyata adalah dakwah.
Sebab langsung menggunakan ayat dan dalil. Itu langsung membuat nasehat menjadi skakmat. Selevel ulama saja panjang usahanya agar dapat berkomunikasi demikian. Yang bukan ulama jangan sampai lebih lebih mudah menceramahi juga langsung -langsung pake ayat, yang kadang, bahasa arabpun belum cakap, atau kalaulah bisa bahasa arab pun masih harus mempelajari artinya dan maknanya, agar penempatan maksud itu sesuai. Bukan dipas paskan. Atau sekedar ditempel-tempel untuk memberangus lawan debat.
Akting pemeran utama
Akting Vino bagus. Postur badannya, ritme dialognya bagus. Akting Claudia bagus, walau saya merasa masih nampak lembut Sundanya dibanding Minang. Meski katanya cukup kesulitan menghafal dialog, tapi good job. Membawakan Siti Raham dengan lembut namun kuat.
Hamka adalah akronim dari nama depannya. Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah