Rabu, 29 November 2023

Apakah ada latar belakang politik luar negeri Jepang dibalik dinikahinya Naoko Nemoto oleh Presiden Soekarno di tahun 1962?

 

Presiden Soekarno saat itu menyukai Jepang. Baginya, Jepang adalah tempat transit paling strategis di Dunia. Sedang alasan lainnya adalah beliau menyukai dunia malam di Tokyo. Melalui wawancara dengan Cindy Adams, beliau menjelaskan jika wajar saja jika ia mengunjungi geisha. Menurutnya tidak melanggar susila sebab para pengunjung duduk, ngobrol, makan dan minum serta mendengarkan musik.

Banyak sumber mengatakan pertemuan Soekarno dan Naoko saat berkunjung bersama rombongan. Tuan rumah memilihkan kelab malam termewah di Tokyo. Seorang pengusaha Jepang dari perusahaan Dagang Tonichi yang tertarik menanamkan modalnya ke Indonesia yaitu Kubo Masao memperkenalkan Naoko Nemoto pada Presiden. Kala itu Naoko sangatlah cantik, Presiden terpesona, apalagi ia terpukau karena Naoko mempersembahkan sebuah lagu Bengawan Solo. Naoko berlatih khusus menyanyikan lagu keroncong tersebut di hadapan para tamu dari Indonesia. Tersentuh hatinya lagu daerah negerinya dinyanyikan wanita asing. 

Naoko sering dikaitkan dengan "kebaikan Jepang". Memang Soekarno sering pergi ke Jepang perihal mengurus rampasan perang. Disebutkan jika Naoko merupakan inisiatif perusahaan swasta untuk masuk ke Indonesia. Walau ini bukan inisiatif yang pertama. Ada perusahaan pesaing yang melakukan hal serupa. Hanya pilihan hati kepada Naoko. Yang kemudian hari menikah dengan Presiden dan dikenal dengan Ratna Sari Dewi dan masuk islam.

Jalinan cinta ini menjadi alat politik bagi dua Negara itu, terutama dalam mengurus rampasan perang. Permainan politik ini cukup rumit. Memang kehadiran Dewi memberikan pengaruh yang sangat besar bagi Indonesia. Pasang surut yang terjadi untuk mengikat jalinan persahabatan dua negara. Saat keadaan buntu mereka membutuhkan penyeimbang dan mengurangi tekanan, yaitu Dewi yang baru sadar di tengah permainan.

Dalam tulisan Ajib Rosidi, budayawan intelektual. Dalam suratnya kepada sastrawan Nasjah Djamin bertanggal 4 Juni 1982. Kutipan hanya sebagian

…. Kau bilang dia tak mau main komisi-komisian, tapi masuknya Dewi ke dalam kehidupannya, seperti telah diceritakannya sendiri, sebenarnya merupakan salah satu bentuk komisi. Kau tahu berapa uang pampasan yang tadinya diminta oleh Indonesia? Kalau aku tak keliru 10 atau 20 milyar dollar! Dan kau tahu berapa akhirnya yang Bung Karno sedia terima? Hanya sekitar 400 atau 800 juta dollar! Perbedaan yang begitu besar. Apakah hal itu bukan mengurbankan hak rakyat dan bangsa untuk memperoleh sekedar kepuasan? Memang soal seks bisa kau bilang urusan pribadi, tetapi kalau sudah dilibatkan ke dalamnya kepentingan bangsa negara, maka dia bukan lagi soal pribadi!


Hal lain diceritakan oleh Menteri Agama kala itu. Saifuddin Zuhri menuangkan catatan kejadian itu.

Setelah pesta kecil santap siang selesai dan tamu-tamu berpamitan pulang. Aku ditahan Bung Karno untuk pulang belakangan. Aku diminta untuk menikahkan Bung Karno dengan wanita cantik itu yang aku diberitahu namanya Ratna Sari Dewi, kelahiran Jepang.

Aku meminta berbicara empat mata dengan Bung Karno, karena itu Bung Karno mengajak aku duduk di ruang lain.

"Mengapa mesti nikah lagi?” sebuah pertanyaan aku kemukakan.

"Saya amat cinta kepadanya, demikian pula dia kepada saya. Tolonglah Saudara nikahkan kami,” jawab Bung Karno.

Lha ...., sampai kapan lagi mesti begini?” aku tatap wajahnya dalam-dalam.

Kalau saya tidak nikahi dia, saya takut sekali akibatnya. Dia bakal tidak kuat menderita dan saya khawatir timbul akibat lebih buruk ...,” Bung Karno seperti minta dikasihani.

"Apakah tugas seorang Menteri Agama memang untuk menikah-nikahkan Presidennya?” aku memberanikan diri untuk berbicara.

Bung Karno adalah presiden. Dia bisa menyuruh orang lain untuk menikahkan dengan Ratna Sari Dewi, sekiranya aku menolak perintahnya. Itu bisa menimbulkan pertentangan antara Presiden dengan Menteri Agama. Apakah harus diriskis sampai ke sana? Apakah NU sudah siap menghadapi situasi baru, yaitu kecuali berada dalam situasi konflik dengan Presiden, juga NU kehilangan kursi Menteri Agama. Aku tidak yakin kalau NU membenarkan sikapku dengan menolak permintaan Bung Karno. Dan, penolakanku tidak menjamin urungnya pernikahan Bung Karno dengan Sari Dewi.

Siang itu, dengan disaksikan beberapa orang staf Istana, aku nikahkan Bung Karno dengan Ratna Sari Dewi, dengan mas kawin Rp 5,00 (lima rupiah). Upacara itu amat sederhana, bertempat di sebuah rumah di Jalan Gatot Subroto. Dalam kesempatan itu aku nasihati Ratna Sari Dewi agar menjadi orang Islam yang baik, dengan mempelajarinya setapak demi setapak. Aku juga menasihati terutama mengenai masalah wanita.

Dalam hati aku berjanji, bahwa aku tidak mau diperintah lagi untuk lagi-lagi menikahkan dengan wanita yang mana pun.