Kamis, 07 September 2023

Apa hal yang jarang dietahui tentang pierre tendean?

Foto-foto terakhir bersama keluarganya ketika menghadiri pernikahan adiknya. Rooswidiati Tendean. Waktunya adalah awal bulan Juli 1965 di Semarang atau dua bulan sebelum tragedi G30S/PKI.



Ketika itu Pierre menjadi Ajudan Menkohankam Jendral A.H.Nasution, menggantikan Adolf Gustaf Manullang yang saat itu gugur dalam tugasnya di Kongo. Posisi inipun karena usaha sang ibu yang membuat permohonan kepada Jendral A.H.Nasution untuk menarik putranya dari garda depan. Meskipun beberapa Jendral lain juga menginginkan Pierre menjadi bawahan mereka, karena kecemerlangannya. Kebetulan Ibundanya dan Jendral A.H Nasution adalah kawan baik. Jadilah berlabuh disana.

Pierre Tendean menyempatkan diri mengambil cuti beberapa hari untuk pulang ke Semarang menghadiri pernikahan Roos adiknya.

Pierre (belakang kanan) saat pernikahan adiknya, Rooswidiyati dengan Jusuf Razak 2 Juli 1965 yang mualaf saat pernikahan.


Pierre, Rooswidiati, Maria Elizabeth Cornet ibunda Pierre dan AL. Tendean, ayah Pierre (Posisi kiri kekanan).

Sebagai kakak, Pierre berpesan kepada Jusuf adik iparnya. "Mas aku titip adikku, tolong... jaga dia."

Sebelum kembali ke Jakarta Pierre pamit kepada kedua orang tuanya. Sambil dengan mata sembab dan menciumi anaknya ibunda berpesan kepada putra satu-satunya itu. "Pierre, lekas pulang ke rumah ya, jika keadaan mengizinkan. Hati-hatilah anakku", tutur ibunda Pierre, Maria Elizabeth Cornet.

Lalu sang ayah, Dr. AL Tendean sambil meletakkan tangannya di atas bahu sang anak berpesan, "Pierre.... hati-hatilah, semoga Tuhan melindungimu."

Sebenarnya ini adalah kalimat yang sering diucapkan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka yang akan bertugas sebagai tentara. Jadi menurut saya bukan hal yang berlebihan. Karena tidak tahu ketika bertugas pulang tinggal nama.


Pernikahan sang adik merupakan pertemuan terakhir Pierre dengan kedua orang tuanya di Semarang. Setelah itu Pierre tidak pernah lagi bertemu ayah dan ibunya. Sedangkan dengan Mitzi, kakak Pierre masih bertemu ketika Mitzi bertandang ke Jakarta akhir Agustus 1965.

Mitzi masih mengenang adiknya itu ketika Pierre mengantarnya ke Stasiun Gambir. Ketika ingin berpisah, Mitzi menciumi pipi Pierre dan merasakan rasa dingin menjalari pipi adiknya itu.


Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andreas Tendean (21 Februari 1939 – 1 Oktober 1965). Meninggal di usia 26 tahun. Dalam rencana akan melangsungkan pernikahan pada sekitar November atau Desember 1965 nantinya.

Pierre lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letda, kemudian menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Karirnya cemerlang bahkan ia termasuk termuda pada angkatannya. Pada tahun 1962, Pierre Tendean lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

Saat belajar di Akademi Militer Nasional, Pierre dikenal karena ketampanannya, dan banyak orang menjulukinya Robert Wagner dari Bumi Panorama. Robert Wagner adalah seorang aktor dari Amerika Serikat. Julukan yang lain adalah "patona" dari para seniornya karena ketampanannya.

Setahun kemudian, ia ikut pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Lalu ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia.

Pada tanggal 15 April 1965, Pierre dipromosikan menjadi Lettu dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.

Sumber: Buku Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi: Biografi Resmi Pierre Tendean. Abie Besman, Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, dkk. 2019.


Sisi lain dalam buku biografi oleh Ahmad Nowmenta dan Agus Lisna

Dalam buku Ahmad Nowmenta dan Agus Lisna menulis, dari silsilah keluarga tak ada yang profesi militer atau tentara, ia berasal dari keluarga dokter. Sehingga keinginan Pierre itu awalnya tak diamini kedua orang tua Pierre. Sang ayah lulusan Indisch Arts Lodewijk Huliselan yang berprofesi dokter, berharap anaknya melanjutkan profesi yang sama dengannya. Kakak ipar Pierre, juga lulusan Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA, sekarang menjadi FK UI).

Sang ayah sering kali mengajak keluarganya hijrah dari satu kota ke kota lainnya berkaitan dengan pekerjaannya. Salah satunya adalah AL Tendean pindah dari Batavia ke Tasikmalaya untuk memberantas penyakit malaria. Kemudian ke Bogor hingga ke Magelang. Sang ayah diangkat menjadi wakil direktur di Rumah Sakit Jiwa Kramat. Setelah AL Tendean diangkat menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat (Tawang) Semarang, keluarganya pun ikut pindah.

Pierre memiliki garis keturunan Eropa. Lahir dari pasangan Aurelius Lammert Tendean (AL Tendean) yang berdarah Minahasa dengan Maria Elizabeth Cornet yang keturunan Prancis-Belanda. Pierre lahir pada 21 Februari 1939 di Batavia.

Ibunda Pierre, M.E Cornet dulu giat mengumpulkan dana dari simpatisan guna membantu perjuangan para gerilyawan untuk mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini menurut saya sangat mengesankan.

Untuk percakapan sehari-hari, keluarga Pierre memang menggunakan Bahasa Jawa, kecuali dengan orang tua, terkadang berbahasa Belanda, ujar Mitzi Tendean.

Setelah meninggal nama Pierre Andreas Tendean diabadikan menjadi nama jalan, gedung, simbol militer, juga ikon patriotisme.

Sumber dari koran kompas tahun 1965 dengan ejaan lama


Berikut foto bu Rooswidiati Tendean.

Yang berkerudung hijau

Lahir pada pertengahan November tahun 1944, usianya selisih 5 tahun dengan Pierre. Foto tersebut diambil ketika beliau menginjak 76 tahun. Beliau pernah mengemban tugas sebagai Ketua Umum Yayasan Sayap Ibu (YSI) Pusat di tahun 1985. Ini merupakan badan hukum bersifat sosial untuk anak-anak.

Beliau juga ikut andil dalam penulisan buku 'Sang Patriot Kisah Seorang Pahlawan Revolusi: Biografi Resmi Pierre Tendean'.