Jendral Soedirman adalah seorang bapak "rumah tangga" yang romantis. Dan dibalik besarnya nama seorang Jendral ini, ada ketabahan yang sangat luar biasa dari sang Istri.
Sudut pandang ini diambil dari istri beliau yang bernama Siti Alfiah. 'Mas Dirman' begitu panggilan untuknya. Panglima Besar Jendral Sudirman yang kemudian wafat pada tanggal 29 Januari 1950, telah meninggalkan begitu banyak kenangan bagi sang istri Siti Alfiah dan 7 anaknya. Saat meninggal usia anaknya paling besar adalah usia sekolah dasar kelas 5 sedang yang terkecil berusia 9 bulan.
Berikut potongan kisah yang diceritakan kembali oleh Siti Alfiah melalui wawancara tahun 1983.
"Pernah, barang-barang yang mengingatkan saya pada Mas Dirman saya coba singkirkan jauh-jauh. Baju-bajunya, foto-fotonya, surat-suratnya. Tetapi ternyata saya tak dapat melupakan Mas Dirman, semudah saya menyingkirkan benda-benda itu dari penglihatan saya. Mas Dirman adalah suami yang setia, jujur, penuh tanggung jawab dan pantas dicintai. Bagaimana mungkin saya bisa melupakannya." Kata Alfiah
Keseharian Sang Jendral
Jika kita tahu di era tersebut dimana laki-laki banyak yang merasa risih dengan pekerjaan rumah tangga. Dan cukup kaku dalam berkomunikasi romantis dengan sang istri. Berbeda dengan beliau.
Latar belakang pendidikan dan pekerjaan sebelum berkarir di kemiliteran adalah seorang guru agama. Membuatnya semakin mengerti bagaimana caranya memuliakan perempuan dan anak-anaknya.
“Bahkan, setiap saya kembali diingatkan tentang Mas Dirman, saya selalu merasa trenyuh," kata Alfiah.
Meski kegiatan Sang Jendral amat padat. Semisal baru datang dari satu agenda. Tak berselang lama, sudah ada yang menjemput untuk berangkat ke agenda lainnya. Namun, beliau tetap selalu menyempatkan ikut mengasuh putra-putrinya.
"Mas Dirman mencintai anak-anak. la selalu menunggui kelahiran mereka. Mau momong atau menyuapi anak-anak."
Bukan itu saja sang suami pun selalu memilihkan corak baju-baju dan sering sekali membelikan baju, bahkan juga bedak istrinya. Termasuk beli bedak sebelum berangkat perang. Soedirman dikenal tidak dapat menutupi aura romantisnya selama menjalani kehidupan rumah tangga bersama istrinya.
‘’Apa yang Bapak bawa?’’ tanya Alfiah.
‘’Baju dan bedak, Bu. Soalnya kalau ada serangan udara, semua toko bakal tutup,’’ jawab Soedirman seraya membuka bungkusan yang ia beli. Diserahkannya baju dan kotak-kotak bedak itu.
‘’Buat apa bedak sebanyak itu?’’
‘’Biar bagaimana pun, Ibu harus tetap terlihat cantik.’’
‘’Tapi satu dus saja bisa untuk sebulan lebih, Pak.’’
Untuk beberapa saat Dirman terdiam melihat Alfiah memeluk baju barunya.
‘Kau senang, Bu?’’ tanya Soedirman.
Alfiah hanya mengangguk sambil sibuk menyeka air matanya. Alfiah hanya mengangguk sambil sibuk menyeka air matanya
Dengan caranya sendiri ia memuji masakan-masakan istrinya.
"la selalu tahu bagaimana memberikan kebahagiaan dan kegembiraan untuk saya dan anak-anak." Ucap Alfiah.
Satu hal lagi yang disimpan Alfiah sebagai kenangan manis, yaitu.
“Kalau saya panggil pak, Mas Dirman selalu bilang 'Ah, aku kan bukan bapakmu, " ujar Alfiah sambil tersenyum kecil mengenang.
Sang Jendral adalah seorang pendengar yang baik.
Awal menjadi tentara adalah sewaktu pendudukan Jepang. Sekolah tempat mengajar Soedirman ditutup. Para guru harus masuk LBD (Lucht Bescherming Dienst) Dinas Perlindungan Bahaya Udara dan Soedirman terpilih sebagai Komandan Sektor. Itulah awal karier beliau dalam bidang kemiliteran. Selain sudah memiliki basic kepanduan yang kuat sebagai Hizbul Wathan sebelumnya.
Untuk kemudian pertemuan rahasia sering dilakukan setiap saat, setiap waktu. Tidak pernah beristirahat. Kalau tak ada mobil, Soedirman berjalan kaki atau naik sepeda.
Posisi Sang suami yang berbahaya membuat Alfiah tak hanya berpangku tangan. Kebetulan keduanya pernah satu organisasi kepanduan sebelum menikah. Jadi jiwa patriotisme juga dimiliki oleh Alfiah.
Alfiah ikut menyampaikan pendapat terutama ketika suaminya sedang mengalami kesulitan. Biasanya setelah berpikir, menimbang-nimbang sejenak, Soedirman akan punya keputusan dan bersemangat.
“'lyo ding, bener kowe, Jeng'. Tak jarang, pendapat saya itulah yang dipakai Mas Dirman menyelesaikan persoalan."
Soedirman senantiasa memberikan kesempatan istrinya untuk menjelaskan tindakan dan alasan-alasannya. Bila tindakan istrinya dipandang benar dan tidak menyimpang, maka dengan penuh lapang dada, Sudirman meminta maaf pada istrinya atas kekeliruannya jika ada yang menjadi masalah. Dengan demikian, antara suami dan istri tidak ada ketegangan yang berlarut-larut.
Masa sangat amat sulit itu akhirnya datang
Tanggal 19 Desember 1948 itu Soedirman beberapa hari terakhir sakit-sakitan masih harus istirahat. Semenjak 3 bulan lamanya Panglima Besar tak meninggalkan tempat tidurnya. Namun ketika didengarnya deru pesawat terbang di atas kota Yogya disusul bom berjatuhan, Sudirman langsung bangkit.
"Pagi itu juga Mas Dirman nekad ke istana untuk menemui Bung Karno. Saya tak bisa menghalangi lagi."
Itu awal kepergian Sudirman bergerilya. Kala itu sedang mengandung anak ke-7. Bersama dengan anak-anak mereka semua mendengar b0m berjatuhan dan mengepung kota Yogjakarta.
“B0m terus berjatuhan dan tentara Belanda memasuki Yogyakarta. Saya hanya mendengar pemimpin-peminpin ditangkap Belanda, tetapi saya tak tahu pasti bagaimana keadaan Mas Dirman. Saya cemas dan khawatir dengan kesehatannya."
Menuruti saran Sri Sultan, Alfiah dan sekeluarga harus mengungsi ke dalam benteng kesultanan. Alfiah sempat bertemu sejenak dengan suaminya dan ia merasa terharu
"Wis, Jeng, niat slamet bali slamet," begitu Soedirman berpamit pada Alfiah. (Artinya sudah jeng, niat selamat kembali juga selamat)
Seluruh perhiasannya diserahkan untuk suaminya melalui kurir untuk membiayai gerilya. Bahkan Alfiah masih menerima tanggung jawab menghidupi 30 anggota keluarga anak buah Sudirman yang bergerilya.
"Tak ada penghasilan apa pun. Jadi saya setiap hari menukarkan kain batik dan baju-baju milik saya dengan singkong untuk makan kami, ”.
Hidup prihatin ini masih ada juga yang tega memanfaatkan situasi. Alfiah ingat, baju-baju itu dihargai serendah-rendahnya, sedang singkongnya dijual dengan harga tinggi.
“Saya tak bisa apa-apa kecuali menyetujui, daripada anak-anak serta keluarga yang saya tanggung tak makan."
Juga Alfiah bolak balik didatangi tentara-tentara Belanda yang mencoba menginterogasinya. Waktu itu Belanda sangat gencar menguber Panglima Besar Indonesia itu. Demi keselamatan keluarga, ia terpaksa berbohong,
"Saya katakan bahwa kami ini keluarga kesultanan. Mereka percaya dan tak mengusik lagi.
Semua jejak album foto disembunyikan dan akhirnya rusak karena air hujan. Tidak ada lagi yang tersisa. Hal ini guna melindungi diri dan anak-anak dari ancaman Belanda.
Sampai pada kehamilan terakhir Alfiah, ia sampai mengandung selama 10 bulan menunggu ayahnya untuk menemani lahiran sebagaimana persalinan sebelumnya. Meski ternyata tak dapat didampingi juga karena situasi.
“Mas Dirman bilang mungkin bayi itu sengaja memberi kesempatan ayahnya memenuhi janjinya. Sayang, situasi tetap tak mengijinkan, " kata Alfiah tersenyum mengenang.
Keinginan terakhir Sang Jendral
Akhirnya kedaulatan tahun 1949 terlaksana dan Jendral Sudirman kembai ke Yogyakarta, langsung dirawat di RS Panti Rapih.
Lalu beliau memilih istirahat di Magelang. Peristirahatan tentara Badakan di Megelang tersebut letaknya memang sangat indah dan sejuk. Tepat menghadap Gunung Sumbing dengan pemandangan yang cantik. Alfiah sendiri memboyong ke-7 putra-putrinya ke Magelang agar bisa mendampingi suaminya.
"Tak ada yang percaya Mas Dirman itu sakit parah kalau tidak melihat fisiknya. Bicaranya tetap menggelegar dari luar kamar,”.
Dalam banyak pertempuran dengan perbekalan minim dan obat-obat yang rusak karena hujan, beliau menceritakan seluruh perjalanannya. Ada juga kejadian lucu saat sedang gerilya.
Pernah juga Mas Dirman malah dianggap kyai di salah satu pedesaan karena dapat menolong beberapa kesulitan rakyat kecil. Misalnya merukunkan pasangan suami istri yang mau cerai.
Menyembuhkan penyakit seorang penduduk. Padahal, ia hanya mengambil air putih segelas dan membaca Bismillah untuk kesembuhan orang tersebut.
Masih ada satu kenginannya yang belum terlaksana. Jika beliau sembuh, Sang Jendral ingin mengajak keluarganya melewati rute perjalanannya sewaktu bergerilya.
“Kalau pensiun nanti ingin tinggal di pegunungan, dikelilingi anak-anak cucunya. Niat itu ternyata tak sampai,”.
Tanggai 29 Januari 1950 pagi, beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
"Saya tak mengira secepat itu Mas Dirman pergi” ucap Alfiah dengan tatapan sedih.
’Gusti Allah selalu memberikan jalan yang sederhana. Coba kau bayangkan, aku bisa dekat dengan alam, dengan anak-anak, dengan prajurit, dengan rakyat. Dari merekalah aku menemukan pikiran-pikiran yang sederhana.’’ kata Soedirman kepada Alfiah ’Dalam rasa senang dan kesederhanaan itu, aku merasa kok rasa-rasanya tugasku sudah selesai.’’
Lalu Soedirman memanggil istri dan anak-anaknya, seraya berkata,
’Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.’’
‘’Kebahagiaan membuatmu tetap manis, cobaan membuatmu kuat, kesedihan membuatmu tetap menjadi manusia, kegagalan membuatmu tetap rendah hati.’’ Soedirman.
Para pemimpin TNI pada Juni 1947. Barisan depan dari kiri ke kanan Urip Sumoharjo,Sudirman, M Natsir, Djoko Sudjono. Barisan belakang dari kiri ke kanan Suryadarma, Sutomo (Bung Tomo) dan Sakirman. Foto IPPHOS
Wawancara bersumber dari tim majalah femina
Catatan Kaki