Mereka juga sering tidak menerima keadilan dibandingkan orang-orang yang egois. Mereka lebih mudah menerima. Sisi gelap mereka ini disebabkan rasa empati mereka yang tinggi. Mereka sering memiliki rasa bersalah, meski bisa saja hal tersebut bukan sepenuhnya salah mereka, dan akhirnya bisa menjadi stres yang lumayan ekstrem.
Nah, kepekaan emosional tersebut rupanya terhubung ke area otak yang berhubungan dengan depresi. Namun tenang, sisi ini bukannya tak dapat diatasi.
Kalau dari penjelasan seorang ilmuwan saraf dari Rutgers University, Dr. Mauricio Delgado
Sehingga orang-orang baik ini yang cenderung lebih pro kepada sosialnya agar bisa lebih baik lagi dalam memilah-milah, apa sih yang layak untuk dikorbankan dan tidak. Maka setidaknya rasa tertekan dapat berkurang.
Karena kebahagiaan itu kita sendiri yang bertanggung jawab 🥲. Membahagiakan orang lain tanpa harus mengorbankan diri sendiri. Bukan berarti lebih baik lalu memilih menjadi egois dan bukan berarti tidak menjadi orang baik yah. Baik dan bijaksana kalau tidak membuatnya tertekan berarti dia adalah orang baik yang mampu. Semua akan menemukan titik keseimbangannya. Jika baiknya karena memiliki prinsip, tentu hal tersebut tidak menjadikan beban untuknya, yang takarannya untuk satu orang dengan lainnya berbeda-beda. Karena ada juga orang yang memiliki hati lapang seluas samudera.
Catatan Kaki