Dr. H. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902.
Bagi Pak Hatta, kehidupan pribadi dan pekerjaannya haruslah dipisahkan.
Hal ini termasuk dalam hal fasilitas yang diberikan negara untuknya, ia pernah memarahi sekretarisnya, I Wangsa Wijaya, karena menggunakan tiga lembar kertas Sekretariat Negara untuk membuat surat kantor wapres. Pak Hatta kemudian mengganti tiga kertas tersebut dengan uang kas wapres. Hal-hal yang kecil seperti inilah bagi beliau dapat meneguhkan integritas, sesuai dengan pepatah Jerman yang dipegang teguh oleh Pak Hatta
“Der Mensch ist, war es iszt” sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.
Jenderal Hoegoeng pengagum Pak Hatta.
Dalam memoirnya Jenderal Hoegeng bercerita.
"Ketika Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, diberitakan dia hanya memiliki uang tabungan Rp 200. Uang pensiunnya pun tak cukup untuk membayar biaya listrik,".
Saat pensiun, Pak Hatta juga menolak semua jabatan komisaris BUMN atau posisi lain yang sebenarnya bisa membuatnya hidup enak. Tapi sudah jadi rahasia umum jika komisaris BUMN juga memiliki stigma lain. Beliau tak mau mengambil keuntungan yang seharusnya dipakai untuk kebaikan bangsanya sendiri.
Bagi Jenderal, Pak Hatta adalah sosok yang membuatnya selalu malu untuk melakukan tindakan seperti korupsi. Apalagi Jenderal Hoegeng tahu bagaimana melaratnya Pak Hatta setelah mundur sebagai Wakil Presiden tahun 1956.
Saat itu sekretaris kabinet, Maria Ulfah menyodorkan uang 6 juta kepada beliau. Uang tersebut merupakan sisa dana non bujeter untuk keperluan operasional selama ia menjabat sebagai wakil presiden. Dana itu ditolak dan dikembalikan oleh Pak Hatta kepada Negara.
Pak Ali Sadikin yang terharu dengan prinsip Pak Hatta
Pak Ali Sadikin terhenyak saat tahu Pak Hatta tak mampu membayar iuran air PAM. Saking kecilnya uang pensiun, Pak Hatta juga kesulitan membayar listrik dan uang pajak bangunan.
"Begitu sederhana nya hidup pemimpin kita waktu itu," katanya. Hal itu di kisahkan Pak Ali Sadikin dalam biografinya.
Pak Ali Sadikin kemudian bergerak. Sang letnan jendral marinir itu melobi DPRD DKI untuk menjadikan Pak Hatta warga kota utama. Dengan begitu Pak Hatta terbebas dari iuran air dan PBB. DPRD setuju. Pemerintah pusat juga memberikan bantuan, diantaranya bebas bayar listrik.
Gambar idaman Pak Hatta ditemukan dalam dompetnya setelah wafatnya.
Sebuah guntingan iklan koran menjadi saksi bisu tentang seseorang yang mengidamkannya. Sebuah iklan koran yang terselip dari dalam dompetnya, ditemukan oleh keluarga setelah Pak Hatta wafat pada tahun 1980.
Guntingan tersebut memperlihatkan iklan sepatu Bally, merek sepatu berbalut kulit asal Swiss. Betapa Pak Hatta amat mengidamkan dan ingin memiliki sepatu tersebut sampai-sampai gambarnya tersimpan rapi di dompet, seperti seorang pria yang kasmaran kemudian meletakkan foto kekasih yang dirindukan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally itu tak terbeli.
Kalau difikir-fikir bagaimana mungkin ya tidak terbeli. Beliau padahal menjabat wakil presiden hingga pernah menjadi perdana menteri. Beliau rela meninggalkan berbagai kemewahan dan keistimewaan yang sudah selayaknya diperolehnya sebagai pemimpin negara. Kalau sekarang pejabat level kabupaten saja sudah bisa beli merek LV atau Hermes.
Pengajaran Pak Hatta kepada anak-anaknya
Pak Hatta mengajari anak-anaknya untuk mengatur seluruh hidupnya dengan baik. Dalam hal kecil, misalnya, Pak Hatta senantiasa meminta pertanggungjawaban uang belanja yang diberikan kepada anak-anaknya.
Meski awalnya cukup aneh, anak-anak terbiasa bertanggung jawab kepada pekerjaan dan kepercayaan yang diberikan. Mereka terbiasa hidup sederhana, tidak konsumtif, serta hemat. Semua biaya harus dilakukan dengan hitungan yang matang.
Pak Hatta menanamkan akan peran seseorang dalam rumah tangga. Keluarga memang unit sosial terkecil, namun menjadi sumber kekuatan juga. Jika karakter masing-masing orang dalam keluarga yang berbeda-beda, maka tidak harus menjadi alasan bagi keluarga itu untuk rapuh.
Tolong-menolong, saling percaya dan punya integritas dan komitmen masing-masing keluarga adalah kekuatan. Sesama kakak beradik harus jujur dan adil karena harus bergaul selama seumur hidup. Dengan demikian sesama saudara dapat dekat dan akur.
Pernah pada suatu hari, Gemala Rabi'ah Hatta yang sempat bekerja sambilan di Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney, ketika mendapat beasiswa di Australia berkirim surat kepada ayahnya. Surat itu ternyata menggunakan amplop milik Konsulat dengan cap resmi. Akibatnya, Pak Hatta membalas surat itu dengan nasihat.
"Kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah pakai kertas Konsulat Jenderal Indonesia. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas," kata Pak Hatta.
Halida, putri Pak Hatta lainnya, pernah juga mengalami hal serupa. Ketika kuliah di Universitas Indonesia, Halida ikut membayar uang semester sebesar Rp30 ribu. Pihak kampus yang akhirnya tahu bahwa Halida adalah putri Pak Hatta, memutuskan membebaskan biaya kuliahnya. Namun beliau menolaknya, dengan alasan masih sanggup, dan biarlah keistimewaan itu untuk mereka yang benar-benar tidak mampu.
Masih ingat dengan Bu Siti Saleha. Ibu kandung Pak Hatta yang tak dapat ber word-word karena anaknya memilih Buku karyanya sebagai mas kawin?. Kali ini juga, pada tahun 1950 Bu Siti Saleha, ingin bertemu putranya. Pak Hatta lantas meminta keponakannya, Hasyim Ning untuk menjemput ke Sumedang. Hasyim mengusulkan agar Ibu Siti dijemput dengan mobil dan supir wapres saja, agar muncul kebanggaan. Tapi Pak Hatta menolaknya.
"Tidak bisa. Mobil ini bukan kepunyaanku, tapi kepunyaan negara," kata Pak Hatta ketika itu.
Wasiat Pak Hatta sebelum meninggal
“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” bunyi wasiat Hatta.
Alasannya, Pak Hatta memprotes pemakaman Ahmad Thahir di pemakaman tersebut. Ahmad Thahir adalah perwira militer tangan kanan Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (yak pembaca tidak salah dengar akan nama familiar ini, itu yang masih keluarga suaminya Dian Sastrowardoyo), terlibat kasus mega korupsi Pertamina. Jenderal Hoegeng juga mengikuti jejak Pak Hatta, menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pak Hatta meninggal dunia pada 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Tanah Kusir, di tengah rakyat biasa. Ribuan orang memberikan penghormatan terakhir di Jalan Diponegoro 57, Jakarta.
Bung Hatta oleh Iwan fals. Dari album Sarjana Muda.
Tuhan terlalu cepat semua. Kau panggil satu-satunya yang tersisa proklamator tercinta.
Jujur lugu dan bijaksana. Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia
Hujan air mata dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi. Berjuta kepala tertunduk haru terlintas nama seorang sahabat yang tak lepas dari namamu
Terbayang baktimu. Terbayang jasamu. Terbayang jelas jiwa sederhanamu. Bernisan bangga, berkafan do'a dari kami yang merindukan orang sepertimu.
Catatan Kaki