Mungkin bisa dibilang sebuah "fenomena anomali kaum terdidik". Ya sebuah anomali yang bisa menjadi salah satu dari fakta pahit atau sisi lain tentang orang pintar (saya katakan kaum terdidik). Setidaknya hal ini bisa atau masih kita temui.
Ada satu buku yang sangat bagus menurut saya, tentang basic life skills. Judulnya "Mengelola hidup dan merencanakan masa depan". Apakah ada yang sudah pernah membaca buku ini. Penulis buku ini adalah Ibu Marwah Daud Ibrahim, M.A., Ph.D. (lahir 8 November 1956).
Sumber buka lapak
Buku ini hadir sejak tahun 2003 atau 2004. Jadi cukup lama usianya. Namun saya sendiri baru membacanya ketika diatas tahun 2010 an, lupa tepatnya. Isinya adalah pengalaman penulis buku tersebut dalam memanage teknis hidupnya. Bagaimana membuat Blue print, peta hidup dengan bantuan selembar kertas yang berisi 70 kotak. Bahkan buku ini menjadi dasar pelatihan juga. Jadi ada semacam trainingnya. Jangan dibayangkan seperti hari ini, dimana sarana sudah lebih berkembang. Sepertinya di awal tahun segitu membuat blue print hidup dengan terperinci masih menjadi sesuatu pengetahuan yang mewah.
Apalagi penulis memberikan contoh hidupnya ketika menyelesaikan studi PhD nya di Amerika Serikat. Dengan perencanaan yang detil dan perhitungan akurat, dapat lulus tepat waktu padahal sedang memiliki segudang tanggung jawab. Saat baru melahirkan dan memiliki anak masih kecil, mengajar, bekerja dan menyelesaikan studi bersamaan. Bahkan beliau menyelesaikan S3 paling cepat diantara angkatannya saat itu dengan bekal jurus yang beliau ciptakan tersebut.
Kiprahnya tidak kaleng-kaleng.
- Pernah menjadi pelajar terbaik se Sulawesi dan bertamu ke istana negara, kemudian menjadi Mahasiswa Teladan Universitas Hasanuddin tahun 1979 saat S1
- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
- S2 dan S3 di American University Washington DC (mulai dari tahun 1984)
- Presidium ICMI atau Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
- Menjadi lulusan terbaik Lemhamnas pada masanya KSA-V 1995.
- Mengajar sebagai dosen Pasca di UI
- Pernah menjadi staff KBRI di Washington DC dan menjadi asisten peneliti UNESCO juga Bank Dunia
- Anggota DPR RI selama 3 periode. Beliau sendiri pernah bergabung ke beberapa partai berbeda seperti Golkar, PKB, Gerindra.
- Masuk kepengurusan MUI sebagai Ketua Komisi MUI bidang perempuan, Remaja dan Keluarga.
- Pernah dicalonkan menjadi wakil presiden mendampingi calon presiden K.H. Abdurrahman Wahid tahun 2004. Namun, pasangan yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa tersebut tidak lolos verifikasi karena berdasarkan tes kesehatan, Gus dur atau Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi kesehatan.
Namun satu yang menjadi anomali, karena beliau juga menjadi
- Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
Jika masih ingat padepokan itu. Dan beliau membela Dimas Kanjeng dengan segenap bukti yang dimilikinya.
Rekaman ini dimiliki oleh bu Marwah sendiri
Saya jujur terkejut saat berita diatas viral sekitar tahun 2015. Jika tak ada kasus p3m8unuh4n dan p3n1pu4n yang menyeret, mungkin padepokan ini akan terus eksis. Karena daya tariknya ada pada orang-orang seperti bu Marwah, bahwa banyak anggota mereka juga berlatar pendidikan tinggi yang ikut bergabung. Mereka adalah orang-orang yang terpikat secara indrawi terhadap karomah semu yang ditunjukkan oleh Dimas Kanjeng. Sehingga bukti didepan mata itu sudah cukup membuat mereka percaya.
Beliau adalah orang yang idealis, saya yakin bu Marwah tak akan mundur untuk segala ucapannya. Maka itulah prinsipnya sangat kuat. Saya mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Hal ini adalah anomali, bukankah berpendidikan tinggi lebih mawas terhadap hal-hal berbau takhayul? Dari beberapa wawancara bu Marwah dalam media, ternyata memang beliau selama ini seringkali berkeliling Indonesia mengembangkan banyak progam. Ketika ada tawaran agar beliau tidak merasa sendiri, ada Padepokan Dimas Kanjeng yang bersedia membantunya mewujudkan cita-citanya yaitu memajukan masyarakat Indonesia dengan sumberdaya manusia mereka disetiap daerah, begitu janji Yayasan Padepokan ini. Cita-cita ini yang sudah lama ia pegang. Bahkan tertuang dalam buku diatas.
Bisa jadi itulah yang membuatnya lebih jauh lagi. Karena bekerja sendiri bisa jadi berkalilipat melelahkan. Sedangkan di padepokan ini, seperti rumah untuknya. Ada yang mengerti cita-citanya dan mendapat janji untuk 'dibantu'. Sebuah tawaran untuk memperoleh support system dan finansial tanpa batas. Ini akan memberikan kesejukan dahaga untuk mewujudkan ide ide yang ingin di eksekusi. Maka sesaat, ini menjadi jebakan tanpa disadari. Dan jebakan ini dapat bermula dari sebuah idealisme yang secara kaku harus terwujud.
Apakah yang harus diistigfari. Mungkin yang perlu di Istigfari adalah istigfar itu sendiri. Jika kaum terdidik masih mempercayai takhayul, akan sulit bangsa ini maju lebih mandiri dengan fondasi yang kuat.
Masih teringat dengan pemaparan Mochtar Lubis yang menyebutkan ciri-ciri manusia Indonesia, pada tahun 1977
- Hipokrit atau munafik
- Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya
- Berjiwa feodal
- Percaya takhayul
- Artistik
- watak yang lemah.
Mochtar Lubis juga menyebutkan ciri-ciri lain manusia Indonesia. Di antaranya, boros, menyukai segala sesuatu yang instan, penggerutu, punya rasa humor yang baik, cepat belajar, dan beberapa ciri lainnya.
Saya kira fenomena ini masih masuk pemaparan Mochtar Lubis yaitu percaya takhayul.
Karena bagaimanapun kaum terdidik merupakan sebuah pagar dan penopang sebuah bangsa ini untuk terus menjadi besar. Saya harap anomali ini hanya terjadi segelintir saja.
Tambahan Nasehat dari KH Hasyim Muzadi jika ada yang berminat menyimak kembali. Silahkan.
Catatan Kaki